Melihat cangkir ini membuat ingatan berlali menuju berpuluh-puluh
cangkir yang bibirnya telah kita kecup dan isinya kita teguk, membuatku mabuk.
Kenangannya menggairahkan. Kemesraan di sela-sela tegukan kopi yang manis dalam
tawa renyah dan cerita-cerita konyol. Barangkali dalam keremangan malam kita
saling mengecup di tengah kesibukan kita mengecupi bibir cangkir kopi.
Sama-sama terasa manis, tapi ketika kita saling mengecup tak ada kegetiran sama
sekali, seperti pahit rasa asli kopi.
Berlama-lama dengan cangkir kopi pada sebuah malam yang
dingin tak pernah jadi masalah. Itu yang kukenangkan. Hingga kita sampai pada
malam seperti ini, masing-masing menikmati detak waktu dalam suasana
menyedihkan. Baiklah, aku bisa menerima keputusan ini.
“Perutnya makin buncit, aku tak tega mendengar reaksi orang-orang
nanti,” akunya, sedikit menunjukkan kegusaran.
“Tapi, Sayang, itu bukan perbuatanmu,” berusaha kupatahkan
niatnya.
“Sejak kecil kami bersahabat. Bajingan yang menidurinya telah
berangkat jadi TKI, dan ia hanya hidup dengan neneknya yang telah jompo.
Izinkan aku, Sayang. “
Aku miris mendengar itu. Rasa tak rela melepas kekasih
tertindih oleh keibaan terhadap nasib perempuan itu. “Lalu kalau aku tak bisa
melupakanmu?”
“Apa kauyakin aku akan mampu melupakanmu?” ia meyakinkan,
“aku selalu merindukanmu, Sayang. Tidak bisa tidak.”
Aku terpaku pada posisi berdiri. Cukup aku berusaha
menahannya. Aku tak bisa lagi berkata-kata. Airmata akhirnya bisa mengiringi
suasana kacau ini. Kututup mata, meski kenyataan tak akan cukup teratasi hanya
dengan mengatupkan dua pasang kelopak mata. Terasa ada sapuan hangat di
bibirku. Ia memagutku dengan kesungguhan cinta. Inilah bahasa cinta terindah
darinya yang mampu membubuh manis dalam getir. Kupeluk ia dengan sepenuh
perasaan kepasrahan dan cinta.
Di ujung penyatuan rasa ini, kutanggungkan kenyataan tanpa
gentar. Ya, ia harus berlalu saat ini juga sesaat setelah kulepas dekapan
tanganku dari tubuhnya.
Dan cangkir kopi yang menyaksikan ini, seketika tak lagi
mampu menghangatkan. Kuseruput pelan tanpa kekangan emosi, merasai aliran
kecilnya yang meluncur dari tenggorokan menuju perut. Ah, andai saja kenangan
yang membeban ini bisa turut bersama kopi menuju perut, kemudian ke usus,
sampai akhirnya berujung di anus dan siap dibuang. Seandainya saja bisa semudah
itu kubuang keputusasaan sisa kenangan dengan cara seperti sisa makanan.
Orang-orang yang berlalu-lalang mana sedikit pun peduli
dengan manusia di kursi ini! Paling mentok
mereka melihat sebentar, itu pun hanya untuk mencari kursi kosong atau tanpa
sengaja menemukanku ketika iseng-iseng melihat sekeliling di sela-sela
perbincangan dengan kolega di meja mereka. Ya, dan memang selalu seperti itu.
Apakah tempat ini terlampau asing buatku? Sesekali ingin rasanya ada yang
memerhatikanku, meghibur dengan cerita-cerita konyol. Namun ketika kusadari
lebih jauh lagi, aku tak benar-benar membutuhkan itu. Tidak membutuhkan untuk
saat ini.
Pukul dua belas malam. Kopi di cangkirku hanya tersisa
beberapa teguk saja. Kedai ini ditinggalkan satu per satu oleh pengunjung yang
sejak sore tadi asyik nongkrong.
Barangkali mereka sudah mulai capai, mengantuk, bosan, ditunggu anak-istri,
atau meneruskan lembur di kantor masing-masing bagi mereka yang diburu
pekerjaan. Atau bisa jadi mencari hiburan di banyak klub malam di kota ini yang
menawarkan kesenangan duniawi. Minuman. Para jalang. Birahi. Dari kedai kopi
beralih ke diskotik, panti pijat, hotel, vila, motel, prostitusi, taman,
terminal, pasar, rumah kosong, atau tempat-tempat sepi langganan. Semua menjadi
sah-sah saja di kota. Kota besar seperti ini. Mulai pusing dengan lamunan itu,
aku segera kembali pada nasibku sendiri, perempuan yang terpaksa menerima
lelakinya direbut takdir. Sebetulnya klise, sepasang manusia beda jenis saling
jatuh cinta yang akhirnya berpisah. Yang tak kumengerti sampai rasanya ingin
mati hanyalah sebuah keputusan darinya yang terlalu konyol untuk kusepakati.
Aku mencintainya. Aku menyayanginya. Ah, omong kosong semua
ungkapan itu kalau tak bisa bersama pada akhirnya.
****
Dan kopi dalam cangkirku hanya tersisa seteguk. Dingin yang
berhembus dari sela-sela jendela merangsek masuk. Ingin kuhabiskan semua kopi
yang tersisa di kedai ini, biar aku puas meneguk kenangan. Meski rasanya tak
bisa teraba lagi oleh lidah yang telah lumpuh, paling tidak aku puas merunut
kebahagiaan yang selama bertahun-tahun kauciptakan untukku. Dan aku terhibur
hanya dengan mengingat-ingat segalanya. Cukup ampuh untuk mengenyahkan ingatan
tentang rencana pernikahanmu. Cukup membantu.
****
Hingga pelayan berusaha membujukku untuk keluar dari kedai
pada saat yang semestinya memang harus tutup, aku masih mengukur kenangan kita
sebab mata tak jua ingin mengatup. Menghabiskanmu malam ini juga, menandaskan
cinta yang semestinya belum ingin diselesaikan babaknya. Dan kenyataannya, sang
sutradara mengeksekusi drama dengan akhir yang tak bisa kuterima.
Tegukan terakhir ini akan menguburmu dalam-dalam, dalam
kenangan. Selalu ingat kata-katamu, “Apa kauyakin aku akan mampu melupakanmu?
Aku selalu merindukanmu, Sayang. Tidak bisa tidak.”
Dan tidak sepenuhnya aku percaya.
05/02/2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar