Fiksi

Selasa, 14 Februari 2012

Eskrim dan Mawar Merah


Masih ingat, aku pernah memintamu agar membawakanku setangkai mawar merah untuk kauberikan pada pertemuan kita selanjutnya? Tanpa kutahu untuk apa, tanpa perlu menyelidiki apa guna mawar merah itu untukku. Kau menolak memberikannya. Pertanyaanmu, untuk apa? Aku sedikit kesal—yang sebenarnya hanya pura-pura—dan kau hanya menyambutnya dengan cengengas-cengenges. Aku makin gemas.

Kau suka kopi. Sangat suka dan hobi. Dan suatu ketika aku mengajakmu bersantai di minimarket paling dekat dengan kosan; makan eskrim. Kau menolak. Kaubilang, aku lebih memilih kopi. Kutemani kau makan eskrim sambil aku minum kopi. Aku pura-pura lagi: ngambek.
Eskrim dan mawar merah menurutmu tak begitu penting rupanya.
Hari berganti. Kita tetap serasi. Semakin sehati.

Kita semakin saling menyayangi. Merasakan cinta sebagai anugerah sekaligus kutukan. Manis campur pahit. Pahit ketika berada di ketiak rindu paling purba.
Kutarik napas, tutup mata, kuhempas napas perlahan, hati-hati. Kubuka mata kembali, dan senyum-lelucon-spontanitas-cerdas-ganasmu masih sangat kujaga untukku sendiri. Alami. Secara alami aku menjagamu dan semua ciri khasmu dalam hati. Tak ada kata lain yang telah ter-set otomatis setiap saat mengingatmu, kecuali: bahagia.

Aku tahu, kau pun juga selalu mencintaiku. Selalu bertambah ruang di hatimu yang siap ditempati sepasukan cinta dari hatiku. Aku tahu sebab aku mendengarnya. Aku yakin sebab aku telah menyentuhnya. Dan aku paham sebab kau selalu menjumpaiku kala kita tengah sama-sama bermimpi pada malam, saat bintang tak lagi kita pandangi sebagai pembawa pesan kerinduan. Saat  kita sama-sama lelah pada puncak malam lalu kita memutuskan untuk kembali memaknai cinta pada mimpi. Ya, kita bertemu. Hanya kita, kita berdua saja.

Aku melihat langkah gegasmu dari sana. Tangan kanan kau sembunyikan di balik punggungmu, kau tersenyum. Manis. Sungguh manis, tak berbeda dengan senyummu di dunia. Tahukah, bahwa bibirku pun telah melengkung membentuk sesimpul senyuman semenjak kau menjadi bagian dari duniaku? Tahukah, bahwa pelangi yang sempat kuputar hingga spektrum-spektrum warnanya yang telah menjadi saptawarna kugulung dan kulumat kembali menjadi satu warna kini kembali kuuraikan hingga terlukis seindah sewajarnya, bahkan jauh lebih manis dan romantis? Tahukan, bahwa aku selalu merasakan kau di sini meski lebih sering kita berjumpa dalam mimpi? Tahukah, bahwa aku sekarang telah menjadi peri baik dan selalu bahagia karenamu? Tahukah?

Hari kesekian yang membuatku semakin mencinta. Dan justru aku semakin malu untuk menulis tentang cinta pada dunia. Tapi untuk menuliskan rasa untukmu, tak usah kaupesan, tak usah kaurisaukan, akan selalu menjadi kover, pembuka, inti, penutup, simpulan, daftar pustaka, hingga lampiran halaman terakhir tiap kayuhan perjalanan hidup kita setiap saat. Tak bisa berkurang meski selalu tercetak dari halaman pertama hingga terakhir, bahkan jika dibutuhkan untuk cetak ulang. Semua lengkap terjaga. Tak bisa habis meski kertas dan pena hidup kita meminta untuk ditemani kertas dan pena yang baru. Dan tak membutuhkan sebuah penghapus untuk membersihkan bagian yang mungkin terkesan berlebihan. Semua terasa pas dan pantas untuk ditorehkan pada setiap bab. Karena kau, karena kau, dan karena kau yang membuat halaman-halaman kita menjadi pantas untuk dinikmati. Kulupakan semua kesedihan yang meminta air mata. Kutanggalkan beban derita yang meminta waktu dan tenaga untuk dihabiskan. Kukeringkan luka yang (dulu) selalu memvonisku: hidup dalam keadaan mati. Iya, semua telah lenyap seiring kebergegasanmu menarikku untuk bahagia. Kau yang menyebabkan aku kembali bercahaya. Hingga kukenal matahari kedua yang lebih memiliki makna, warna perak yang teduh darinya, dan mimpi yang hampir nyata.
I do love you more.. ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar