When I broke up, that was just two
years ago.
Pengalaman
yang hampir setiap orang mengalaminya, namun dengan alasan dan penanganan yang
berbeda. Ya, dan aku tergolong ke dalam the
brokenhearted yang getol menikmati kepatahhatianku selama hampir dua tahun.
Alasannya jelas: sedikit pun belum bisa melupakannya. Kami putus, lebih
tepatnya ia yang memutuskan hubungan. Padahal belum ada seumur jagung kami
bersama dalam ikatan.
Jadi
kami sebelum jadian adalah teman baik yang kenal lewat handphone. Berkirim sms setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit.
Sangat dekat lewat obrolan di sms. Ia termasuk sosok “penjelajah” yang perfeksionis
dan kalem. Sering gonta-ganti pacar.
Semua tentang hidupnya—termasuk kehidupan asmara—ia ceritakan padaku tanpa
beban sedikit pun. Dan aku hanya tak bisa membalas sikap keterbukaannya.
Secukupnya saja, yang kuanggap penting saja. Selang beberapa bulan kemudian,
aku merasa ada getaran yang berbeda. Rindu. Cemas. Deg-degan. Dan suatu hari
kunyatakan pada diriku sendiri secara malu-malu babi, bahwa aku sayang padanya.
Singkat cerita, Agustus 2008 kami jadian. Sebenarnya hampir tak percaya, ia si
perfeksionis juga rasakan hal yang sama. Bahagia, tapi banyak ge-er-nya.
Baru
dua bulan berjalan, kami sudah harus putus, tepatnya pada 7 Oktober 2008.
Tragedi ini benar-benar luar biasa bekasnya. Di hari putus itu, kami jalan
seharian. Pergi ke kota sebelah sebagai farewell
party rasa nano-nano. Bahagia
bisa bersama dalam waktu yang lama sekaligus hancur berantakan karena harus
berakhir. Sakit benar. Bagaimana rasanya putus tanpa masalah dari intern? Akan
jauh lebih mudah dilalui kalau tengah berseteru. Dan satu-satunya masalah yang
kami hadapi—membuat kami putus—adalah papa yang belum mengizinkan aku pacaran
sebelum wisuda. Satu kalimat yang masih utuh kurapal darinya, “Makin lihat
kamu, aku makin sayang”. Gila, seperti teror. Dan aku termakan oleh teror itu.
Aku
menyerah. Mengalah. Betapa cinta pertama yang sangat kacau. Tragis. Sebenarnya
klise, sebuah perpisahan dalam hubungan yang baru terjalin. Kedengarannya biasa
saja dan jamak. Tapi bagiku, yang mengalaminya, sangat berat.
Bagaimana
setiap hari kunikmati wajahnya yang kupasang sekenanya di dinding kamar kosan.
Dalam setiap kegiatan selalu diikuti bayang-bayangnya—lebih tepatnya kusertakan
bayangannya dalam setiap gerakku. Kutulis ia setiap kali aku sudah sangat
kewalahan memendam rindu. Kucari dan kubaca ia di jejaring sosial—friendster dan facebook waktu itu. Kutebak-tebak kegiatannya setiap hari. Kubayangkan
ia di sini. Kutanyakan pada teman-teman terdekatnya. Kukagumi setengah
menyumpahinya atas rasa patah hati. Kupuja-puja secara membabi buta di depan
teman-temanku—meski dalam hati aku tahu, mereka menertawaiku geli. Sudah banyak
teman yang mencoba menasihati, tapi mental. Tetap aku pada pendirianku:
menggilainya dan menunggu. Ikrarku telah terucap, “Akan kutunggu sampai kapan
pun”. Ya, benar-benar gila. Itu pernyataan pecinta bodoh. Bagaimana lagi, aku
hanya tengah mengalami masa-masa peralihan dari remaja alay menuju dewasa. Dan tak bisa kubuktikan hal itu, karena kini
aku telah menemukan pengganti.
Tak
sedikit peristiwa-peristiwa mendebarkan yang kualami selepas keterpisahan kami.
Hingga akhirnya pada 1 Januari 2009 kami mencoba mengembalikan status hubungan
kami. Kami ‘rujuk’. Ia yang meminta sejak Desember 2009, dengan berhasil
mengajakku menikmati pantai pada 8 Desember, sederhana tapi maknanya luar
biasa. Ya, ternyata kami sama-sama memendam kegalauan yang sama. Dua bulan
cukup membuat kami kembali pada hubungan yang sempat berakhir.
Sebulan
berjalan dengan tantangan yang lebih memberatkan. Aku mulai sangat sibuk,
sedang ia termasuk lelaki yang tak bisa lepas dari komunikasi. Pada liburan
semester gasal bulan Januari itu aku memutuskan untuk kerja di sebuah
perusahaan furnitur di Jepara. Waktuku berbagi degannya cukup tersita, padahal sedianya
liburan ini akan dimanfaatkan untuk seintens mungkin bertemu.
Dengan
berbagai alasan yang cukup mentah dan sebenarnya bisa diatasi, akhirnya kami
kembali meretas hubungan pada 5 Februari 2009. Nikmat. Sangat nikmat lukanya,
hingga saat ia menyatakan keputusannya sedikit pun aku tak menangis. Aku
tersenyum, ia tersenyum, seperti tak ada apa-apa dan ringan saja hawa yang
mengalir di sekitarku. Baru selang beberapa hari, aku bisa menangis setelah
mendalami perasaan. Rasa kehilangan yang jauh lebih memberatkan dibandingkan 7
Oktober 2008 silam. Ini terjadi karena ternyata perasaan sayang, cinta, atau
apalah sebutannya itu semakin menggebu. Dan efeknya jauh lebih parah. Semakin
menjadi-jadi gilaku. Semakin masa bodoh dengan yang menghalangiku untuk tetap
menunggunya. Kondisi ini makin diperparah dengan sebuah berita mengejutkan,
namun sudah bisa ditebak sebenarnya. Ia punya pacar lagi. Gadis itu sekampus
dengannya. Kabar ini kudengar langsung dari teman baiknya ketika kami sengaja
bertemu di bazaar buku di lingkungan kampus. Dan inilah fase paling melankolis
bagi diriku, si pecinta buta yang tak bisa bedakan setia dan bodoh. Aku
menangis seketika itu, setelah mampir di kampus untuk bersua dengan teman-teman
sejurusan. Gila, aku tak punya malu, menangisi lelaki yang belum tentu sedetak
jantung pun ia mengingatku. Dan lebih gila lagi, harus kutunjukkan
terang-terang pada teman-teman yang sama sekali tak bersinggungan langsung
dengan masalahku.
Buta.
Aku buta oleh perasaanku sendiri. Menangis sejadinya, tak ingat waktu. Sakit
kalau harus menerima kenyataan bahwa seorang yang masih sangat kamu cintai
ternyata tak punya perasaan yang sama padamu. Ini klise, tapi memang siksaan
dahsyat.
Hari-hariku
sudah tak senormal dulu. Tersiksa sekali tengah menjadi seorang yang merasa
paling terkutuk di dunia. Dan itu kualami berbulan-bulan, hingga kututup buku
penderitaan itu pada November 2010. Selama itu, jatuh bangun aku menghidupi
perasaanku dengan caraku sendiri. Secara berkala, ia hadir di hadapanku.
Komunikasi via sms juga masih berjalan dengan baik, meski tentunya tak sehebat
dulu. Sebulan sekali kiranya cukup untuk menuntaskan kerinduan, meski tak
pernah tandas. Dan selalu ia yang memulai. Aku tak pernah punya nyali sedikit
pun untuk memulai menghubungi.
Ia
bermanuver. Kali ini jauh lebih excited
sekaligus berisiko. Beberapa kali ia mengajakku kencan buta. Nonton film di
bioskop. Aku masih sangat ingat, kostum yang kami pakai, apalagi film apa yang
kami tonton. Semua film yang kami tonton sesuai permintaanku. Alih-alih
mengambil risiko yang berat dengan memilih film drama picisan, aku memilih film
Sang Pemimpi, Tanah Air Beta, dan Alangkah Lucunya Negeri Ini. Dan
pertemuan pun berjalan amat lancar. Sangat kentara betapa kikuknya sikapku
waktu itu, ia tahu pasti. Jelas, ini membuat anganku melayang makin jauh dan
tinggi, bahagia yang benar-benar sampai pada puncaknya. Namun, ketika kutengok
siapa ia dan bagaimana ia, aku merasa sangat berdosa. Bagaimana dengan
perempuan yang tengah jadi kekasihnya kini? Ah, masa bodoh. Ketika aku
disadarkan oleh nurani bijak tentang keberadaannya, aku seperti berada di atas
biduk. Kuikuti kata hati untuk bahagia bersamanya, maka aku siap terseret ombak
ke samudra. Kalau aku memikirkan perasaan kekasihnya, aku akan selamat ke
pesisir. Ah, aku terlalu tak bisa menolak kebahagiaan yang ia suguhkan.
Meminjam ungkapan terlanjur basah ya
sudah mandi sekalian, pertemuan-pertemuan yang tak kutahu temanya itu terus
terulang. Diajak belanja buku, belanja di pameran komputer, dan sebagainya. Oh,
dunia. Bahagia tapi semakin penasaran, sebenarnya apa motif perlakuannya itu?
Bersyukur sekali kalau ia memang butuh aku. Tapi sungguh malang kalau nyatanya
ia hanya mengetes keseriusan perasaanku padanya.
Merah
jambu. Ia adalah lelaki merah jambu. Ya, karena ia sangat tergila-gila dengan
warna manis yang identik dengan perempuan itu. Dan akhirnya hal ini menginspirasiku,
menjadikannya sebagai judul antologiku sebagai tugas akhir mata kuliah Ekspresi
Tulis Sastra di semester 5. Lirik Merah
Jambu, itu judul bukuku yang jelas sekali mewakili sebagian besar tema
tulisan-tulisanku di dalamnya. Namanya pun kutulis dalam halaman persembahan.
Rasanya, buku itu bisa jadi mahar dalam pernikahanku andaikata aku lelaki dan
bila kami berjodoh.
Kejutan-kejutan
yang tak terduga justru kudapat setelah kami “berakhir”. Pernah satu kali
kukirim sms ketika ia tengah di toko buku. Iseng saja kuminta dicarikan buku
baru dari Andrea Hirata, Dwilogi Padang
Bulan. Kudengar dari temannya, keras usahanya untuk mendapatkan buku itu,
kendati uangnya tak cukup, kabarnya. Hingga kini, buku itu masih kusimpan rapi,
kusampuli.
Terakhir,
beberapa hari sebelum tanggal kelahiranku, ia kembali menawarkan bantuan
psikologis. Kali ini ia telah melajang lagi. Untuk merayakan ulang tahunku, ia
mengajak ke bioskop. Masih aku yang menentukan film apa yang akan ditonton. Aku
memilih Satu Jam Saja. Sengaja
kupilih, bukan atas alasan ingin menjebaknya dalam suasana picisan yang
dramatis, melainkan atas satu alasan sederhana: pemerannya Vino G. Bastian,
idola kami. Dan inilah film terakhir kami.
Kabahagiaan
kembali berada di puncaknya, dan ketika telah seperti itu, tak lama kemudian kedukaan akan kusambut. Benar,
rupanya dua minggu setelah itu ia kembali mendapat pacar. Langit runtuhku yang telah
kembali pada posisi semestinya saat itu segera runtuh untuk kedua kalinya. Jauh
lebih mengerikan dan menenggelamkan. Betapa mudah ia menimang perasaanku
kemudian dijatuhkannya dari peraduan yang amat tinggi. How stressing!
Rasa
sakit memang tak bisa ditolak. Air mata bombay dari mata seorang cengeng ini
terus terkuras. Tapi kali ini aku percaya, akan ada sesuatu yang menuntunku
pada pencerahan. Dari mana datangnya pikiran itu? Mungkin lahir dari sakit hati
yang sudah mentok repotnya.
Di
tengah kekalutan, ternyata aku mendapatkan angin segar. Ada seorang di sana
membelajarkan tentang sehatnya merasa bahagia. Setiap kali ia hadir—sms dan facebook—aku pasti terhibur, lupa dengan
seseorang yang lain di sana. Benar-benar terhibur. Perlahan-lahan ia menggerus
bayangan lelaki merah jambu. Hidupku berangsur-angsur normal ditandai dengan
keikhlasanku lari dari rasa kalut yang menakutkan. Singkat cerita, ia—lelaki
yang baru—menyatakan perasaan cintanya. Kusambut dengan hangat, tentu. Kami berani
berkomitmen. Sepasang kekasih baru dengan keseragaman minat. Hari-hari yang
indah penuh becandaan segar.
Dan
lelaki merah jambu menguap bersama kejutan akhir tahun. Aku sudah lupa ikrar
butaku dulu. Dan rasanya luar biasa bebas.
Desember 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar