Fiksi

Sabtu, 02 Maret 2013

MERAH JAMBU


When I broke up, that was just two years ago.
Pengalaman yang hampir setiap orang mengalaminya, namun dengan alasan dan penanganan yang berbeda. Ya, dan aku tergolong ke dalam the brokenhearted yang getol menikmati kepatahhatianku selama hampir dua tahun. Alasannya jelas: sedikit pun belum bisa melupakannya. Kami putus, lebih tepatnya ia yang memutuskan hubungan. Padahal belum ada seumur jagung kami bersama dalam ikatan.

Jadi kami sebelum jadian adalah teman baik yang kenal lewat handphone. Berkirim sms setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit. Sangat dekat lewat obrolan di sms. Ia termasuk sosok “penjelajah” yang perfeksionis dan  kalem. Sering gonta-ganti pacar. Semua tentang hidupnya—termasuk kehidupan asmara—ia ceritakan padaku tanpa beban sedikit pun. Dan aku hanya tak bisa membalas sikap keterbukaannya. Secukupnya saja, yang kuanggap penting saja. Selang beberapa bulan kemudian, aku merasa ada getaran yang berbeda. Rindu. Cemas. Deg-degan. Dan suatu hari kunyatakan pada diriku sendiri secara malu-malu babi, bahwa aku sayang padanya. Singkat cerita, Agustus 2008 kami jadian. Sebenarnya hampir tak percaya, ia si perfeksionis juga rasakan hal yang sama. Bahagia, tapi banyak ge-er-nya.
Baru dua bulan berjalan, kami sudah harus putus, tepatnya pada 7 Oktober 2008. Tragedi ini benar-benar luar biasa bekasnya. Di hari putus itu, kami jalan seharian. Pergi ke kota sebelah sebagai farewell party rasa nano-nano. Bahagia bisa bersama dalam waktu yang lama sekaligus hancur berantakan karena harus berakhir. Sakit benar. Bagaimana rasanya putus tanpa masalah dari intern? Akan jauh lebih mudah dilalui kalau tengah berseteru. Dan satu-satunya masalah yang kami hadapi—membuat kami putus—adalah papa yang belum mengizinkan aku pacaran sebelum wisuda. Satu kalimat yang masih utuh kurapal darinya, “Makin lihat kamu, aku makin sayang”. Gila, seperti teror. Dan aku termakan oleh teror itu.
Aku menyerah. Mengalah. Betapa cinta pertama yang sangat kacau. Tragis. Sebenarnya klise, sebuah perpisahan dalam hubungan yang baru terjalin. Kedengarannya biasa saja dan jamak. Tapi bagiku, yang mengalaminya, sangat berat.
Bagaimana setiap hari kunikmati wajahnya yang kupasang sekenanya di dinding kamar kosan. Dalam setiap kegiatan selalu diikuti bayang-bayangnya—lebih tepatnya kusertakan bayangannya dalam setiap gerakku. Kutulis ia setiap kali aku sudah sangat kewalahan memendam rindu. Kucari dan kubaca ia di jejaring sosial—friendster dan facebook waktu itu. Kutebak-tebak kegiatannya setiap hari. Kubayangkan ia di sini. Kutanyakan pada teman-teman terdekatnya. Kukagumi setengah menyumpahinya atas rasa patah hati. Kupuja-puja secara membabi buta di depan teman-temanku—meski dalam hati aku tahu, mereka menertawaiku geli. Sudah banyak teman yang mencoba menasihati, tapi mental. Tetap aku pada pendirianku: menggilainya dan menunggu. Ikrarku telah terucap, “Akan kutunggu sampai kapan pun”. Ya, benar-benar gila. Itu pernyataan pecinta bodoh. Bagaimana lagi, aku hanya tengah mengalami masa-masa peralihan dari remaja alay menuju dewasa. Dan tak bisa kubuktikan hal itu, karena kini aku telah menemukan pengganti.
Tak sedikit peristiwa-peristiwa mendebarkan yang kualami selepas keterpisahan kami. Hingga akhirnya pada 1 Januari 2009 kami mencoba mengembalikan status hubungan kami. Kami ‘rujuk’. Ia yang meminta sejak Desember 2009, dengan berhasil mengajakku menikmati pantai pada 8 Desember, sederhana tapi maknanya luar biasa. Ya, ternyata kami sama-sama memendam kegalauan yang sama. Dua bulan cukup membuat kami kembali pada hubungan yang sempat berakhir.
Sebulan berjalan dengan tantangan yang lebih memberatkan. Aku mulai sangat sibuk, sedang ia termasuk lelaki yang tak bisa lepas dari komunikasi. Pada liburan semester gasal bulan Januari itu aku memutuskan untuk kerja di sebuah perusahaan furnitur di Jepara. Waktuku berbagi degannya cukup tersita, padahal sedianya liburan ini akan dimanfaatkan untuk seintens mungkin bertemu.
Dengan berbagai alasan yang cukup mentah dan sebenarnya bisa diatasi, akhirnya kami kembali meretas hubungan pada 5 Februari 2009. Nikmat. Sangat nikmat lukanya, hingga saat ia menyatakan keputusannya sedikit pun aku tak menangis. Aku tersenyum, ia tersenyum, seperti tak ada apa-apa dan ringan saja hawa yang mengalir di sekitarku. Baru selang beberapa hari, aku bisa menangis setelah mendalami perasaan. Rasa kehilangan yang jauh lebih memberatkan dibandingkan 7 Oktober 2008 silam. Ini terjadi karena ternyata perasaan sayang, cinta, atau apalah sebutannya itu semakin menggebu. Dan efeknya jauh lebih parah. Semakin menjadi-jadi gilaku. Semakin masa bodoh dengan yang menghalangiku untuk tetap menunggunya. Kondisi ini makin diperparah dengan sebuah berita mengejutkan, namun sudah bisa ditebak sebenarnya. Ia punya pacar lagi. Gadis itu sekampus dengannya. Kabar ini kudengar langsung dari teman baiknya ketika kami sengaja bertemu di bazaar buku di lingkungan kampus. Dan inilah fase paling melankolis bagi diriku, si pecinta buta yang tak bisa bedakan setia dan bodoh. Aku menangis seketika itu, setelah mampir di kampus untuk bersua dengan teman-teman sejurusan. Gila, aku tak punya malu, menangisi lelaki yang belum tentu sedetak jantung pun ia mengingatku. Dan lebih gila lagi, harus kutunjukkan terang-terang pada teman-teman yang sama sekali tak bersinggungan langsung dengan masalahku.
Buta. Aku buta oleh perasaanku sendiri. Menangis sejadinya, tak ingat waktu. Sakit kalau harus menerima kenyataan bahwa seorang yang masih sangat kamu cintai ternyata tak punya perasaan yang sama padamu. Ini klise, tapi memang siksaan dahsyat.
Hari-hariku sudah tak senormal dulu. Tersiksa sekali tengah menjadi seorang yang merasa paling terkutuk di dunia. Dan itu kualami berbulan-bulan, hingga kututup buku penderitaan itu pada November 2010. Selama itu, jatuh bangun aku menghidupi perasaanku dengan caraku sendiri. Secara berkala, ia hadir di hadapanku. Komunikasi via sms juga masih berjalan dengan baik, meski tentunya tak sehebat dulu. Sebulan sekali kiranya cukup untuk menuntaskan kerinduan, meski tak pernah tandas. Dan selalu ia yang memulai. Aku tak pernah punya nyali sedikit pun untuk memulai menghubungi.
Ia bermanuver. Kali ini jauh lebih excited sekaligus berisiko. Beberapa kali ia mengajakku kencan buta. Nonton film di bioskop. Aku masih sangat ingat, kostum yang kami pakai, apalagi film apa yang kami tonton. Semua film yang kami tonton sesuai permintaanku. Alih-alih mengambil risiko yang berat dengan memilih film drama picisan, aku memilih film Sang Pemimpi, Tanah Air Beta, dan Alangkah Lucunya Negeri Ini. Dan pertemuan pun berjalan amat lancar. Sangat kentara betapa kikuknya sikapku waktu itu, ia tahu pasti. Jelas, ini membuat anganku melayang makin jauh dan tinggi, bahagia yang benar-benar sampai pada puncaknya. Namun, ketika kutengok siapa ia dan bagaimana ia, aku merasa sangat berdosa. Bagaimana dengan perempuan yang tengah jadi kekasihnya kini? Ah, masa bodoh. Ketika aku disadarkan oleh nurani bijak tentang keberadaannya, aku seperti berada di atas biduk. Kuikuti kata hati untuk bahagia bersamanya, maka aku siap terseret ombak ke samudra. Kalau aku memikirkan perasaan kekasihnya, aku akan selamat ke pesisir. Ah, aku terlalu tak bisa menolak kebahagiaan yang ia suguhkan. Meminjam ungkapan terlanjur basah ya sudah mandi sekalian, pertemuan-pertemuan yang tak kutahu temanya itu terus terulang. Diajak belanja buku, belanja di pameran komputer, dan sebagainya. Oh, dunia. Bahagia tapi semakin penasaran, sebenarnya apa motif perlakuannya itu? Bersyukur sekali kalau ia memang butuh aku. Tapi sungguh malang kalau nyatanya ia hanya mengetes keseriusan perasaanku padanya.
Merah jambu. Ia adalah lelaki merah jambu. Ya, karena ia sangat tergila-gila dengan warna manis yang identik dengan perempuan itu. Dan akhirnya hal ini menginspirasiku, menjadikannya sebagai judul antologiku sebagai tugas akhir mata kuliah Ekspresi Tulis Sastra di semester 5. Lirik Merah Jambu, itu judul bukuku yang jelas sekali mewakili sebagian besar tema tulisan-tulisanku di dalamnya. Namanya pun kutulis dalam halaman persembahan. Rasanya, buku itu bisa jadi mahar dalam pernikahanku andaikata aku lelaki dan bila kami berjodoh.
Kejutan-kejutan yang tak terduga justru kudapat setelah kami “berakhir”. Pernah satu kali kukirim sms ketika ia tengah di toko buku. Iseng saja kuminta dicarikan buku baru dari Andrea Hirata, Dwilogi Padang Bulan. Kudengar dari temannya, keras usahanya untuk mendapatkan buku itu, kendati uangnya tak cukup, kabarnya. Hingga kini, buku itu masih kusimpan rapi, kusampuli.
Terakhir, beberapa hari sebelum tanggal kelahiranku, ia kembali menawarkan bantuan psikologis. Kali ini ia telah melajang lagi. Untuk merayakan ulang tahunku, ia mengajak ke bioskop. Masih aku yang menentukan film apa yang akan ditonton. Aku memilih Satu Jam Saja. Sengaja kupilih, bukan atas alasan ingin menjebaknya dalam suasana picisan yang dramatis, melainkan atas satu alasan sederhana: pemerannya Vino G. Bastian, idola kami. Dan inilah film terakhir kami.
Kabahagiaan kembali berada di puncaknya, dan ketika telah seperti itu, tak lama  kemudian kedukaan akan kusambut. Benar, rupanya dua minggu setelah itu ia kembali mendapat pacar. Langit runtuhku yang telah kembali pada posisi semestinya saat itu segera runtuh untuk kedua kalinya. Jauh lebih mengerikan dan menenggelamkan. Betapa mudah ia menimang perasaanku kemudian dijatuhkannya dari peraduan yang amat tinggi. How stressing!
Rasa sakit memang tak bisa ditolak. Air mata bombay dari mata seorang cengeng ini terus terkuras. Tapi kali ini aku percaya, akan ada sesuatu yang menuntunku pada pencerahan. Dari mana datangnya pikiran itu? Mungkin lahir dari sakit hati yang sudah mentok repotnya.
Di tengah kekalutan, ternyata aku mendapatkan angin segar. Ada seorang di sana membelajarkan tentang sehatnya merasa bahagia. Setiap kali ia hadir—sms dan facebook—aku pasti terhibur, lupa dengan seseorang yang lain di sana. Benar-benar terhibur. Perlahan-lahan ia menggerus bayangan lelaki merah jambu. Hidupku berangsur-angsur normal ditandai dengan keikhlasanku lari dari rasa kalut yang menakutkan. Singkat cerita, ia—lelaki yang baru—menyatakan perasaan cintanya. Kusambut dengan hangat, tentu. Kami berani berkomitmen. Sepasang kekasih baru dengan keseragaman minat. Hari-hari yang indah penuh becandaan segar.
Dan lelaki merah jambu menguap bersama kejutan akhir tahun. Aku sudah lupa ikrar butaku dulu. Dan rasanya luar biasa bebas.

Desember 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar